Nama: Nurul Fikriah
Kelas 3N PGSD(1201045418)
Artikel Penyimpangan Sosial
Kenakalan Remaja dikalangan Sosial
Usia
remaja, usia yang sangat menyenangkan yang kita jalani melakukan hal-hal yang
selalu menyenangkan tanpa memikirkan positif-negatifnya, baik-buruknya, merugikan
masyarakat/ lingkungan atau tidaknya. Kita tidak mengetahui apa yang kita lakukan
menyimpang atau tidak, karena yang hanya kita tau bersenang-senang saja.
Prilaku
menyimpang yang juga biasa dikenal dengan nama penyimpangan sosial adalah
prilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan atau kepatutan, baik
dalam sudut pandang kemanusiaan(agama) secara individu maupun pembenarannya
sebagai bagian daripada makhluk sosial.
Penyakit
sosial disebut pula sebagai disorganisasi sosial, karena gejalanya berkembang
menjadi ekses sosial yang mengganggu keutuhan dan kelancaran berfungsinya
organisasi sosial. Selanjutnya dinamakan pula sebagai disintegrasi sosial, karena bagian satu struktur sosial tersebut
berkembang tidak seimbang dengan bagian-bagian lain( misalnya person anggota
suku, klen, dan lain-lain), sehingga prosesnya bisa mengganggu, menghambat,
atau bahkan merugikan bagian-bagian lain, karena tidak dapat diintegrasikan
menjadi satu totalitas yang utuh. Semua tingkah-laku yang sakit secara sosial
tadi merupakan penyimpangan sosial yang sukar diorganisir, sulit diatur dan
ditertibkan sebab para pelakunya memakai cara pemecahan sendiri yang
nonkonvensional, tidak umum, luar biasa atau abnormal sifatnya. Biasanya mereka
mengikuti kemauan dan cara sendiri demi kepentingan pribadi. Karena itu deviasi
tingkah-laku tersebut dapat mengganggu dan merugikan subyek pelaku sendiri dan
masyarakat luas. Deviasi tingkah-laku ini juga merupakan gejala yang menyimpang
dari tendensi sentral, atau menyimpang
dari ciri-ciri umum rakyat kebanyakan. Tingkah-laku menyimpang secara sosial
tadi juga disebut sebagai diferensiasi
sosial, karena terdapat diferensiasi atau perbedaan yang jelas dalam
tingkah-lakunya, yang berbeda dengan ciri-ciri karakteristik umum, dan
bertentangan dengan hukum, atau melanggar peraturan formal.
Definisi Juvenile Delinquency
Juvenile Delinquency ialah prilaku jahat(dursila), atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda;
merupakan gejala sakit(patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang
disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu
mengembangkan bentuk tingkah-laku yang menyimpang. Anak-anak muda delinkuen
atau jahat itu disebut pula sebagai anak cacat
secara sosial. Mereka menderita cacat mental disebabkan oleh pengaruh
sosial yang ada ditengah masyarakat.
Juvenile berasal dari bahasa Latin juvenilis,
artinya: anak-anak, anak muda, ciri karakteristik pada masa muda, sifat-sifat
khas pada periode remaja. Delinquency
berasal dari kata latin”delinquere” yang berarti: terabaikan, mengabaikan; yang
kemudian diperluas artinya menjadi jahat, sosial, kriminal, pelanggar aturan,
pembuat ribut, pengacau, penteror, tidak dapat diperbaiki lagi, durjana,
dursila, dan lain-lain. Deliquency
itu selalu mempunyai konotasi serangan, pelanggaran, kejahatan dan keganasan
yang dilakukan oleh anak-anak muda dibawah usia 22 tahun. Pengaruh sosial dan
kultural memainkan peranan yang besar dalam pembentukan atau pengkondisian
tingkah laku kriminal anak-anak remaja. Perilaku anak-anak ini menunjukkan
tanda-tanda kuranga atau tidak adanya konformitas terhadap norma-norma sosial,
mayoritas juvenile delinquency
berusia dibawah 21 tahun. Angka tertinggi tindak kejahatan ada pada usia 15-19
tahun; dan sesudah umur 22 tahun, kasus kejahatan yang dilakukan oleh gang-gang
delinkuen jadi menurun. Kejahatan seksual banyak dilakukan oleh anak-anak usia
remaja sampai dengan umur menjelang dewasa, dan kemudian pada usia pertengahan.
Tindak merampok, menyamun dan membegal, 70% dilakukan oleh orang-orang muda
berusia 17-30 tahun. Selanjutnya, mayoritas anak-anak muda yang terpidana dan
dihukum itu disebabkan oleh nafsu serakah untuk
memiliki, sehingga mereka banyak melakukan perbuatan mencopet, menjambret,
menipu, merampok, menggarong, dan lain-lain. Menurut catatan kepolisian, pada
umumnya jumlah anak laki yang melakukan kejahatan dalam kelompok gang-gang
diperkirakan 50 kali lipat daripada gang anak perempuan; sebab anak perempuan
pada umumnya lebih banyak jatuh kelimbah pelacuran, promiskuitas(bergaul bebas
dan seks bebas dengan banyak pria) dan menderita gangguan mental, serta
perbuatan minggat dari rumah atau keluarganya.
Wujud Perilaku
Delinkuen
Diatas
telah dijelaskan bahwa prilaku delinkuen adalah perilaku jahat, dursila,
durjana, kriminal, sosiopatik, melanggar norma sosial dan hukum; dan ada
konotasi “pengabaian” delinkuen merupakan produk konstitusi mental serta emosi
yang sangat labil dan defektif, sebagai akibat dari proses pengkondisian
lingkungan buruk terhadap pribadi anak, yang dilakukan oleh anak muda tanggung
usia, puber dan adolesens.
Wujud prilaku delinkuen ini adalah:
(1) Kebut-kebutan dijalanan yang
mengganggu keamanan lalu-lintas, dan membahayakan jiwa sendiri serta orang
lain.
(2)
Perilaku ugal-ugalan, brandalan,
urakan yang mengacaukan ketenteraman melieu sekitar. Tingkat ini bersumber pada
kelebihan energi dan dorongan primintif yang tidak terkendali serta kesukaan
menteror lingkungan.
(3)
Perkelahian antar geng,
antarkelompok, antarsekolah, antar-suku(tawuran), sehingga kadang-kadang membawa
korban jiwa.
(4) Membolos sekolah lalu bergelandang
sepanjang jalan, atau bersembunyi ditempat-tempat terpencil sambil melakukan
eksperimen bemacam-macam kedurjanaan dan tindak-asusila.
(5)
Kriminalitas anak, remaja dan
adolesens antara lain berupa perbuatan mengacam, intimidasi,
memeras, maling, mencuri,
mencopet, merampas, menjambret,
menyeran, merampok, menggarong;
melakukan pembunuhan dengan jalan menyembelih korbannya; mencekik, meracun, tindak kekerasaan, dan pelanggar
lainnya.
(6)
Berpesta-pora, sambil
mabuk-mabukan, melakukan hubungan seks bebas, atau orgi (mabuk-mabukan hemat
dan menimbulkan keadaan yang kacau-balau) yang mengganggu lingkungan.
(7)
Perkosaan, agresivitas seksual dan
pembunuhan dengan motif seksual, atau didorong oleh reaksi-reaksikompensatorisdari
perasaan inferior, menuntut pengakuan diri, depresi hebat, rasa kesunyian,
emosi balas dendam, kekecewaan ditolak cintanya oleh seorang wanita dan
lain-lain.
(8)
Kecanduan dan ketagihan bahan
narkotika (obat bius;drugs) yang erat bergandengan dengan tindak kejahatan.
(9)
Tindak-tindak immoral seksual
secara terang-terangan, tanpa tendeng aling-aling, tanpa rasa malu dengan cara
yang kasar. Ada seks dan cinta bebas tanpa kendali (promiscuity) yang didorong
oleh hiperseksualitas, Geltungsrieb (dorongan menuntut hak) dan usaha-usaha
kompensasi lainnya yang kriminal sifatnya.
(10)
Homoseksualitas, erotisme anal dan oral, dan gangguan seksual lain pada anak
remaja disertai tindakan sadistis.
(11) Perjudian
dan bentuk-bentuk permainan lain dengan taruhan, sehingga mengakibatkan ekses
kriminalitas.
(12)
Komersialisasi seks, pengguguran janin oleh gadis-gadis delinkuen, dan
pembunuhan bayi oleh ibu-ibu yang tidak kawin.
(13) Tindakan
radikal dan ekstrim, dengan cara kekerasan, penculikan dan pembunuhan yang
dilakukan oleh anak-anak remaja.
(14) Perbuatan
a-sosial dan anti-sosial lain disebabkan oleh gangguan kejiwaan pada anak-anak
dan remaja psikopatik, psikotik, neurotik, dan menderita gangguan-gangguan jiwa
lainnya.
(15) Tindak
kejahatan disebabkan oleh penyakit tidur (encephalitis lethargical), dan
ledakan meningitis serta post-encaphalitics; juga luka di kepala dengan
kerusakan pada otak ada kalanya membuahkan kerusakan mental, sehingga orang
yang bersangkutan tidak mampu melakukan kontrol-diri.
(16) Penyimpangan
tingkah-laku disebabkan oleh kerusakan pada karakter anak yang menuntut
kompensasi, disebabkan adanya organ-organ yang inferior (Adler, 1952).
Dalam
kondisi statis, gejala juvenile delinquency atau kejahatan remaja merupakan
gejala sosial yang sebagian dapat diamati serta diukur kuantitas dan kualitas
kedurjanaannya, namun sebagian lagi tidak bisa diamati dan tetap tersembunyi,
hanya bisa dirasakan ekses-eksesnya. Sedang dalam kondisi dinamis, gejala
kenakalan remaja tersebut merupakan gejala yang terus-menerus berkembang,
berlangsung secara progresif sejajar denga perkembangan teknologi,
industrialisasi dan urbanisasi.
Beberapa Teori Mengenai Sebab Terjadinya Juvenile
Delinquecy
Kejahatan
remaja yang merupakan gejala penyimpangan dan patologis secara sosial itu juga
dapat dikelompokkan dalam satu kelas defektif secara sosial dan mempunyai
sebab-musabab yang majemuk; jadi sifatnya multi-kausal. Para sarjana
menggolongkannya menurut beberapa teori, sebagai berikut:
(1)
Teori biologis
(2)
Teori psikogenis (psikologis dan
psikiatris)
(3)
Teori sosiogenis
(4)
Teori subkultur
1.
Teori Biologis
Tingkah-laku sosiopatik atau delinkuen pada anak-anak dan
remaja dapat muncul karena faktor-faktor fisiologis dan struktur jasmaniah
seseorang, juga dapat cacat jasmaniah yang dibawa sejak lahir. Kejadian ini
berlangsung:
(a)
Melalui gen atau plasma pembawa
sifat dalam keturunan, atau melalui kombinasi gen; dapat juga disebabkan oleh
tidak adanya gen tertentu, yang semuanya bisa memunculkan penyimpangan
tingkah-laku, dan anak-anak menjadi delinkuen secara potensial.
(b)
Melalui pewarisan tipe-tipe
kecenderungan yang luar biasa (abnormal), sehingga membuahkan tingkah-laku
delinkeuen.
(c)
Melalui pewarisan kelemahan
konstitusional jasmaniah tertentu yang menimbulkan tingkah-laku dekinkuen atau
sosiopatik. Misalnya cacat jasmaniah bawaan brachydactylisme (berjari-jari
pendek) dan diabetes insipidius (sejenis penyakit gula) itu erat berkolerasi
dengan sifat-sifat kriminal serta penyakit mental.
2.
Teori Psikogenis
Teori ini menekankan sebab-sebab tingkah-laku delinkuen
anak-anak dari aspek psikologis atau isi kejiwaannya. Antara lain faktor
inteligensi, ciri kepribadian, motivasi, sikap-sikap yang salah, fantasi,
rasionalisasi, internalisasi diri yang keliru, konflik batin, emosi yang
kontroversial, kecenderungan psikopatologis, dan lain-lain. Argumen sentral
teori ini ialah sebagai berikut: delinkuen merupakan “bentuk penyelesaian” atau
kompensasi dari masalah psikologis dan konflik batin dalam menanggapi stimuli
eksternal/sosial dan pola-pola hidup keluarga yang patologis. Kurang lebih 90%
dari jumlah anak-anak delinkuen berasal dari keluarga berantakan (broken home).
Kondisi keluarga yang tidak bahagia dan tidak beruntung, jelas membuahkan
masalah psikologis personal dan adjustment (penyesuaian diri) yang terganggu
pada diri anak-anak; sehingga mereka mencari kompensasi di luar lingkungan
keluarga guna memecahkan kesulitan batinnya dalam bentuk perilaku delinkuen.
Ringkasnya, delinkuensi atau kejahatan anak-anak merupakan reaksi terhadap
masalah psikis anak remaja itu sendiri.
Kira-kira sepertiga dari jumlah anak-anak dari lembaga
permasyarakatan menderita konflik intrapsikis dan kelainan temperamental.
Kejahatan yang mereka lakukan biasanya dipraktekkan seorang diri, dengan
cara-cara yang impulsif dan agresif, tidak perduli terhadap hasil perolehannya;
bahkan seringkali anak tadi tidak menghindarkan diri untuk dikenali oleh orang
luar. Jadi mereka secara kasar dan terang-terangan melakukan tindak kriminal.
Akibat kelalaian orang tua dalam mendidik anak-anaknya,
dan tidak adanya kontrol yang terus-menerus, serta tidak berkembangnya
disiplin-diri, ketiga hal tersebut dengan mudah membawa anak tersebut pada lingkungan
sosial yang tergabung dalam gang-gang. Mereka lalu belajar melakukan adaptasi
terhadap masyarakat secara normal, namun justru beradaptasi terhadap masyarakat
yang jahat dan menyimpangdari norma-norma sosial. Biasanya anak-anak itu juga
ditambahi beban ekstra berupa tekanan-tekanan batin, sakit karena pengaruh
alkohol dan bahan-bahan narkotik, dan gangguan mental tertentu.
Delinkuensi cenderung lebih banyak dilakukan oleh
anak-anak, remaja dan adolesens ketimbang dilakukan oleh orang-orang dengan
kedewasaan muda (young adulthood). Remaja dan adolesens delinkuen ini mempunyai
moralitas sendiri, dan biasanya tidak mengindahkan norma-norma moral yang
berlaku di tengah masyarakat. Disamping itu, semua fase transisi, juga fase
transisi masa kanak-kanak menuju kedewasaan, selalu membangkitkan protes
adolesens, walaupun banyak terdapat kesejahteraan, kemakmuran, penghasilan yang
tinggi dan kesempatan kerja di tengah masyarakat. Semangat protes-memberontak
inilah yang ikut memainkan peranan penting dalam membentuk pola tingkah-laku
delinkuen.
3.
Teori Sosiogenis
Para sosiolog berpendapat penyebab tingkah-laku delinkuen
pada anak-anak remaja ini adalah murni sosiologis atau sosial-psikologi
sifatnya. Misalnya disebabkan oleh pengaruh struktur sosial yang deviatif,
tekanan kelompok, peranan sosial, status sosial atau oleh internalisasi
simbolis yang keliru. Maka faktor-faktor kulturan dan sosial itu sangat
mempengaruhi, bahkan mendominasi
struktur lembaga-lembaga sosial dan peranan sosial setiap individu ditengah
masyarakat, status individu ditengah kelompoknya partisipasi sosial, dan
pendefinisiaan-diri atau konsep-dirinya.
4.
Teori Subkultur Delinkuensi
Tiga teori yang terdahulu (biologis, psikogenis dan
sosiogenis) sangat populer sampai tahun-tahun 50-an. Sejak 1950 keatas banyak
terdapat perhatian pada aktivitas-aktivitas gang yang terorganisasi dengan
subkultur-subkulturnya. Adapun sebabnya ialah:
(a)
Bertambahnya dengan cepat jumlah
kejahatan, dan meningkatnya kualitas kekerasaan serta kekejaman yang dilakukan
oleh anak-anak remaja yang memiliki subkultur delinkuen.
(b)
Meningkatnya jumlah kriminalitas
mengakibatkan sangat besarnya kerugian dan kerusakan secara universal, terutama
terdapat dinegara-negara industri yang sudah maju, disebabkan oleh meluasnya
kejahatan anak-anak remaja.
“Kultur”
atau “Kebudayaan” dalam hal ini menyangkut satu kumpulan nilai dan norma yang
menuntut bentuk tingkah-laku responsif sendiri yang khas pada anggota-anggota
kelompok gang tadi. Sedang istilah “Sub” mengindikasikan bahwa bentuk “budaya”
tadi bisa muncul ditengah suatu sistem yang lebih inklusif sifatnya. Subkultur
delinkuen gang remaja itu mengaitkan sistem nilai, kepercayaan/keyakinan,
ambisi-ambisi tertentu(misalnya ambisi materi, hidup bersantai, pola kriminal,
relasi heteroseksual bebas, dan lain-lain) yang memotivasi timbulnya
kelompok-kelompok remaja berandalan dan kriminal. Sedang sepasang bisa berupa:
hadiah mendapatkan status sosial “terhormat” ditengah kelompoknya, prestise
sosial, relasi sosial yang intim, dan hadiah-hadiah materi lainnya.
Pendekatan
Humaniter
Penanaman
dan pendekatan secara humaniter terhadap juvenile
delinquency dilakukan atas dasar beberapa pertimbangan berikut:
(1) Didasarkan atas pandangan hidup dan falsafah hidup
kemanusiaan/humaniter terhadap pribadi anak-anak dan para remaja.
(2) Kebutuhan akan perawatan dan perlindungan terhadap anak-anak remaja
yang nakal-jahat, bermasalah dan menjadi masalah sosial, disebabkan oleh
ketidakdewasaan mereka.
(3) Untuk menggolongkan anak dan remaja
delinkuen tersebut kedalam satu kategori yang berbeda dengan kategori
kriminalitas orang dewasa.
(4) Untuk menerapkan prosedur-prosedur peradilan, penghukuman, penyembuhan
dan rehabilitas khusus; terutama sekali untuk anak-anak dari pengalaman
traumatis yang tidak perlu, serta melindungi mereka dari tindak-tindak
menipulatif oleh orang-orang dewasa.
Adanya tugas “parens patriae” sebagai orang tua dan bapak oleh orang
dewasa dan masyarakat, khusunya oleh negara untuk ikut bertanggung jawab
memikul beban memelihara dan melindungi anak-anak dan para remaja yang
terhalang proses perkembangan mentalnya, dan cacat secara Sehubungan dengan
kelima pertimbangan tadi, masyarakat dan pemerintah secara bersama-sama
melakukan aktivitas-aktivitas penanganan terhadap masalah kejahatan anak
tersebut, antara lain dengan jalan menyelenggarakan upaya:
(a)
Mendirikan panti rehabilitasi dan
pengoreksian,
(b)
Peradilan anak-anak,
(c)
Badan kesejahteraan anak
(d) Foster home placement
(e)
Undang-undang khusus untuk
pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak para remaja,
(f)
Sekolah bagi anak-anak gembel,
(g)
Rumah tahanan untuk anak, dan lain-lain.
(5) sosial.
Semua lembaga tersebut
diatas menggunakan pelayanan dan perlakuan khusus bagi anak-anak, baik secara
individual maupun secara kelompok dalam bentuk tindak koreksi dan
rehabilitasnya. Khususnya anak-anak tersebut didik agar mampu bertanggung jawab sosial, dan dikemudian harinya bisa menjadi warga negara yang
susila, berguna dan bertanggung jawab.
Hubungan Orangtua dan Remaja
Tidak
jarang terdengar keluhan orangtua yang telah berusaha sekuat tenaga memberi pendidikan
dan mutu kehidupan sebaik dan sebijaksana mungkin bagi anak mereka, tetapi
hasilnya nihil. Bahkan, tidak jarang meereka dipersalahkan terlalu mengatur
hidup anak, sehingga anak merasa terkekang dan akhirnya memberontak terhadap
orangtua. Terdengar pula keluhan remaja, yang , merasa dirinya tidak dimengerti
oleh orangtua. Ada pula anak yang merasa tidak diperlakukan sebagai anak
kandung. Dengan kata lain, si anak merasa tidak mendapat kasih sayang orangtua.
Perbedaan
umur orangtua yang cukup besar, menandakan pula perbedaaan masa yang dialami
kedua belah pihak. Perbedaan masa yang dialami akan memberikan jejak-jejak yang
berbeda pula dalam bentuk perbedaan pendidikan, sikap, dan pandangan yang
mendasari seluruh perilaku orangtua. Setiap zaman dengan tingkat kemajuan
individu pada zaman tersebut. Sementara itu, pribadi-pribadi khas akibat
pembentukan zaman tertentu teteap akan memasuki zaman berikutnya dengan
ciri-ciri khususnya tadi, yang berperan pula dalam pembentukan pribadi-pribadi
baru. Dengan demikian, generasi orangtua dan generasi remaja selalu akan
memperlihatkan perbedaan-perbedaan yang sesuai dengan perbedaan zaman. Hal ini
tidak berarti kedua generasi tidak mungkin mengatasi dinding pemisah yang
terdiri dari perbedaan-perbedaan tersebut. Kedua pihak dapat mengatasi
konfrontasi tersebut bila menyadari adanya perbedaan ini dan ada usaha yang
diarahkan ke persesuaian akan tercapai apabila antara kedua generasi diadakan
hubungan dengan sikap dan toleran.
Sebaiknya
orangtua mengikuti dan mengamati dengan cermat putra-putrinya, sehingga setiap
perubahan penting- baik yang positif maupun negatif- tidak lepas dari
pengamatan. Dengan demikian, orangtua dapat memberi ulur tangan pada saat
bantuan dan nasihat orangtua memang diperlukan. Orangtua dapat memberikan
dorongan mental dan gairah belajar bila anak sedang mengalami penurunan
semangat belajar. Sebaliknya, remaja pun harus menyadarinya kesulitan-kesulitan
orangtua dalam mengadakan penyesuaian baru dan bersikap sehubungan dengan
perubahan-perubahan, dan menyadari persoalan orangtua yang tidak selalu mudah
diatasi dalam peningkatan kebutuhan dibidang mental maupun mental.
Penyesuaian
paham antara orangtua dan remaja akan tercapai bila kedua belah pihak berusaha
mengerti persoalan masing-masing dari kesulitan-kesulitan yang dihadapi pihak
lainnya. Dengan adanya pengertian akan persoalan-persoalan dan
perbedaan-perbedaan. Disertai dengan usaha bersama dalam penyelesaiannya, maka
lenyaplah jurang pemisah antara orangtu dan remaja.
Referensi
Patologi Sosial II: Kenakalan Remaja/Kartini
Kartono-Ed.1.-11.-Jakarta: Rajawali pers, 2013.
Psikologi untuk keluarga/ oleh Yuliah Singgih
D. Gunarsa dan Singgih D. Gunarsa.- cet.1.-Jakarta: Penerbit Libri, 2012.
oke, terimakasih.
BalasHapus