Nama :
Elvira Adawiyah
Kelas :
3N PGSD
NIM :
1201045179
Konflik
Sosial
Perang
Antar Suku
Konflik
berasal dari kata kerja latin configere yang berarti saling memukul. Secara
sosiologis konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih
(bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain
dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Konflik sosial bisa
terjadi karena beberapa faktor diantara faktor tersebut adalah Perbedaan agama,
Perbedaan RAS, Perbedaan etnik, budaya, suku, dan bahkan kesalah pahaman
pun dapat memicu terjadinya perang antar
suku.
Konflik sosial memiliki
banyak sekali dampak negatif, misalnya menghambat kerjasama, apriori, saling
menjatuhkan, dan lain sebagainya. Namun disisi lain konflik sosial memiliki
dampak positif juga misalnya mendorong sekelompok orang yang melakukan suatu
konflik untuk saling mengoreksi diri, meningkatkan prestasi, dan mengembangkan
alternatif yang baik.
Di indonesia sering
sekali terjadi perang antar suku. Salah satu contoh yaitu perang sampit.
Konflik sampit adalah
pecahnya kerusuhan antar etnis di Indonesia, berawal pada Februari 2001 dan
berlangsung sepanjang tahun itu. Konflik ini dimulai di kota sampit, Kalimantan
Tengah dan meluas ke seluruh provinsi, termasuk ibu kota Palangka Raya. Konflik
ini terjadi antara suku dayak asli dan warga migran. Peristiwa sampit ini
menjadi sebuah kota yang digambarkan begitu menakutkan karena pertikaian etnis.
Masyarakat dayak adalah masyarakat tradisional yang memegang teguh harkat dan
harga diri. Kerusuhan sampit ini pecah
pada 18 Februari 2001 dan sekitar 500 orang Madura tewas 10.000 jiwa kehilangan
tempat tinggal. Suku Madura pertama tinggal di Kalimantan pada tahun 1930
dibawah program transmigrasi yang dicanangkan oleh pemerintah kolonial Belanda
dan dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia. Sebenarnya dalam kasus ini terjadi
kecemburuan sosial antara penduduk lokal dan pendatang. Dimana pendatang disana
menguasai perekonomian, perindustrian, perkayuan. Suku Dayak kerap kali
mengalah kepada suku pendatang. Mereka juga sangat terdesak di tanahnya
sendiri. Hingga kampung mereka pun berkali-kali berpindah karena mengalah dari
para penebang kayu (suku madura) yang terus mendesak mereka masuk ke dalam
hutan.
Kerusuhan yang terjadi
di Sampit hanyalah salah satu rangkaian peristiwa kerusuhan yang terjadi oleh
suku madura yang sejak berdirinya Kalimantan tengah telah melakukan lebih dari
13 kali kerusuhan besar dan banyak sekali kerusuhan tersebut yang mengakibatkan
korban dari pihak Dayak. Sangat banyak kasus-kasus yang telah memicu pertikaian
antara kedua suku ini, yaitu:
1.
Pada tahun 1972,
seorang gadis dayak diperkosa. Kasus tersebut hanya diselesaikan dengan hukum
adat.
2.
Tahun 1982 terjadi
pembunuhan seorang Dayak oleh suku madura, pelaku tidak tertangkap karena
kemungkinan pembunuh kembali ke pulau Madura.
3.
Tahun 1983,
pengeroyokan satu orang dayak oleh tiga puluh orang Madura, diadakan perdamaian
antara kepala suku dayak dan madura.
4.
Tahun 1996, seorang
gadis Dayak diperkosa di gedung bioskop panala dan dibunuh dengan kejam dan
sadis oleh orang Madura, ternyata hukumannya ringan.
5.
Tahun 1997, di desa karang langit, Barito selatan orang
Dayak dikeroyok oleh orang Madura dengan perbandingan kekuatan 2:40, dengan
skor orang Madura mati semua. Padahal orang Dayak pada saat itu hanya ingin
mempertahankan diri dari orang Madura yang jumlahnya sangat banyak. Kasus ini
ditutup dengan hukuman berat bagi orang dayak.
6.
Tahun 1997, anak
laki-laki suku dayak yang bernama Waldi tewas dibunuh oleh orang Madura yang
berjualan sate di daerah itu.
Tidak
sedikit kasus pembunuhan orang Dayak (sebagian besar disebabkan oleh aksi
premanisme Etnis Madura) yang merugikan masyarakat Dayak karena para tersangka
(kebetulan orang Madura) tidak bisa ditangkap dan di adili oleh aparat penegak
hukum. Etnis Madura yang juga punya latar belakang budaya kekerasan ternyata
menurut masyarakat Dayak dianggap tidak mampu untuk beradaptasi (mengingat
mereka sebagai pendatang). Sering terjadi kasus pelanggaran “tanah larangan”
orang Dayak oleh penebang kayu yang kebetulan didominasi oleh orang Madura.
Orang Dayak merasa sangat tersudut ditanahnya sendiri. Mereka seolah tidak
dilindungi dari pihak hukum. Sementara orang Madura semakin merasa diatas angin
di kota sampit. Seakan mereka tidak peduli akan perasaan warga lokal disana.
Situasi ini semakin hari semakin panas. Orang Madura mempunyai keinginan untuk
menjadikan kota sampit sebagai kota sampang ke-2. Mereka melupakan pepatah di
tanah Borneo tersebut yaitu, “dimana tanah dipijak, disitu langit di junjung”.
Pada tanggal 18 februari 2002 di sebuah pasar di kota sampit, seorang ibu yang
sedang hamil dibunuh dengan kejam. Perutnya dibelah dan janin dalam perut ibu
tersebut dikeluarkan lalu dibuang. Darah dari seorang ibu dan janinnya tadi
dijadikan tinta untuk menulis di sebuah spanduk besar yang bertuliskan “sampit
sebagai sampang kedua”. Kejadian ini memang sepertinya telah direncakan oleh
pihak Madura. Mereka juga berkeliling kota sampit sambil meneriakkan “matilah
kau dayak”. Bom molotof pun berjatuhan di rumah-rumah orang Dayak. Tidak
sedikit juga mereka membakar rumah orang dayak. Orang Dayak menjadi takut dan
mereka berlari masuk ke dalam hutan. Kepala suku mereka telah sangat murka dan
memberi ultimatum kepada orang bahwa apabila dalam 3 hari mereka tidak keluar
dari sampit, maka dayak akan memerangi warga
Madura. Sudah sangat banyak pengungsi telah diungsikan ke Surabaya dan
ke Palangkaraya. Ultimatum tadipun tidak dihiraukan oleh warga Madura sehingga terjadilah
perang etnis disana. Suku dayak berhasil mengambil kembali rumahnya yang hampir
diambil oleh suku lain. Banyak rumah yang terbakar, toko-toko milik kedua etnis
tadi lenyap serta kurang lebih 500 korban tewas. Tidak ada yang menguntungkan
bagi kedua belah pihak. Dalam kata lain perang hanya meninggalkan tangis dan
air mata, dan juga kenangan yang sangat menyakitkan.
Untuk
mengatasi masalah konflik sosial yang terjadi seperti perang sampit itu perlu
adanya peran serta pemerintah dalam penanganannya, sosialisasi dan kerjasama
antar suku, pengambilan tindakan oleh pemerintah yang harus dilakukan secara
bijak supaya tidak menimbulkan konflik dan kecemburuan sosial.
Daftar
Pustaka
Rinakit,
Sukardi (2005). The Indonesian Military
After the New Order. Nordic Institute of Asian Studies
Kokaino.wordpress.com
Usman,
Daharum, Etnopolis Conflict.www.seporatisme.com
oke, terimakasih.
BalasHapus